Berlian Tetap Berlian
“Berlian tetaplah berlian, mutiara tetaplah mutiara, dan emas tetaplah emas. Meskipun ketiganya tidak pernah mengatakan eksistensi dirinya. Ciri khas mereka tidak pernah digantikan oleh perhiasan hasil kreasi laboratorium.” Mungkin ungkapan di atas sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Doktor Ahmad Munir, “Mutiara walaupun di dasar lautan, orang akan tetap mencarinya.”
Orang yang berkualitas tetaplah berkualitas. Orang yang berkualitas seperti halnya berlian, dia akan tetap berharga. Tidak perlu mencari kekurangan dan kesalahan orang lain untuk menjadi tinggi. Layaknya fa’il yang akan terus marfu’ (dimuliakan). Begitu juga dengan tradisi baik dan pembiasaan baik. Akan tetap terlihat dan tercium oleh orang lain meskipun langkahnya, “silent mode”.
Sebuah kalimat dengan narasi yang indah tetaplah indah, meskipun kalimat tidak mendeklarasikan dirinya sebagai bentuk aktualisasi balaghoh. Ia-nya akan bisa dirasakan pembaca meski tanpa tahu bagaimana dan seperti apa proses menyusunnya. Tak terkecuali proses pembiasaan yang tertradisikan. Energinya akan bisa dirasakan meski tidak “koar-koar” manfaat dan hikmah di belakangnya.
Dalam Ushul fiqih ada sebuah kaidah yang sangat dikenal luas. “Al ‘adat muhakkamah”, yang berarti sebuah kebiasaan itu bisa dijadikan patokan sebuah hukum. Sebagian menjelaskan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang terjadi pada suatu tempat atau seseorang bisa menjadi dasar adanya sebuah hukum.
Tradisi Yang Terpatri
Pembahasan kaidah di atas tidak diarahkan secara fiqih, namun perspektif konteks Al Islam. Dalam konteks Pondok Pesantren Al Islam di mana di sini banyak sekali tradisi-tradisi yang sudah dijalankan selama berpuluh-puluh tahun sejak didirikannya Al Islam. Tradisi yang sudah dijalankan dan menjadi ciri khas serta budaya yang melekat di pondok pesantren Al Islam.
Sebuah tradisi yang sebenarnya menjadi kelebihan serta keunggulan yang Allah sematkan pada Pondok Pesantren Al Islam, hanya saja tradisi ini tidak disadari ternyata menjadi keunggulan yang tidak dimiliki oleh beberapa Pondok lain. Tradisi yang kemudian harus mulai disadari dan lebih dijaga serta dikembangkan.
Tradisi-tradisi ini telah berjalan puluhan tahun sejak berdirinya Al Islam hingga kini, di mana usia Pondok Pesantren Islam sudah lebih dari setengah abad. Tradisi-tradisi ini masih dilaksanakan hingga hingga kini. Tradisi-tradisi ini masih terimplementasi dan teraktualisasi di tengah-tengah pembelajaran dan pendidikan di pondok pesantren Al Islam.
Kasus Filter Minyak Goreng
Tung Desem Waringin menceritakan di bukunya yang fenomenal, Marketing Revolution.
Pabrik minyak goreng pada suatu waktu melakukan sebuah inovasi pemasaran minyak gorengnya. Ternyata masing-masing inovasi yang dilakukan oleh beberapa pabrik minyak goreng itu rata-rata sama. Yaitu melakukan penyaringan minyak goreng 5 kali. Dengan adanya proses ini minyak pun menjadi lebih berkualitas dan lebih jernih. Hanya saja proses ini tidak pernah dibicarakan kepada publik karena dianggap sebagai sebuah kelaziman dalam proses.
Setelah melalui uji evaluasi dan proses marketing akhirnya diputuskan untuk membranding ini sebagai sebuah kelebihan meskipun di pabrik yang lain juga dilakukan hal yang sama. Walhasil penjualan pun meningkat. Ternyata usut punya usut hal ini merupakan sebuah kesadaran yang dimiliki oleh pengguna pabrik namun bukan masyarakat sebagai konsumen. Bagi masyarakat penyaringan 5 kali yang disampaikan ini adalah keunggulan.
Secara kasuistik, pemasaran minyak goreng di atas memiliki kesamaan yang ada di pondok pesantren Al Islam. Rata-rata proses dan budaya yang terjadi yang sudah menjadi kebiasaan di pondok pesantren Al Islam dianggap sebagai sebuah kewajaran. Padahal sebenarnya ini adalah anugerah Allah yang masih disematkan kepada Pondok Pesantren Al Islam untuk kemudian dijaga dan menjadi basis dari pendidikan karakter.
Sekolah Rasa Pondok
Salah satu tradisi yang sampai sekarang berkembang dan masih dipertahankan adalah bagaimana Pondok Pesantren Al Islam yang notabene adalah sekolah atau madrasah namun memiliki rasa seperti halnya sebuah pondok pesantren salafi. Pondok pesantren salafi yang berciri khas dengan akhlak, keta’dziman, rasa hormat, dan saling santun. Pondok pesantren Al Islam sampai sekarang atas izin Allah masih disematkan budaya ini. Sehingga tradisi seorang santri menghormati ustadz, kemudian melaksanakan apa yang diperintahkan, masih menjadi budaya yang melekat hingga kini. Tradisi di mana seorang santri masih tetap menundukkan, kepalanya tatkala bertemu dengan ustadznya. Meskipun ada yang mungkin belum melakukan tradisi yang sedemikian.
Budaya ini layaknya sebuah berlian yang terpendam oleh tanah. Jarang yang mengatakan bahwa “di sini ada berlian” atau “ini adalah sebuah berlian”. Ini bukan sebuah bentuk penolakan atas kenyataan atau ketidakmauan pondok pesantren dalam upaya untuk memasarkan pondoknya. Hal ini dipicu salah satunya karena kebanyakan semua elemen yang ada di pondok pesantren menganggap ini adalah sebatas tradisi dan merupakan hal yang lumrah. Atau yang lebih jauh lagi, bahwa sikap baik apapun yang Allah selamatkan pada diri seseorang itu hanyalah sifat yang bersifat sementara (hawadits). Tidak ada sifat atau karakter yang tetap. Menganggap ini sebagai sebuah kelebihan terkadang justru menjadikan rasa sombong yang berlebih. Menganggap yang lain remeh dan sifat turunan angkuh lainnya. Barangkali inilah yang kemudian menutupi tradisi-tradisi yang sebenarnya menjadi kelebihan ini tidak begitu diekspos keluar.
Eksistensi Yang Terkuak
Budaya baik yang kemudian dibungkus akhlaq hati yang baiklah yang kemudian menjadikan pondok pesantren Al Islam Joresan dengan tradisinya yang kuat menjadi “less talk”. Seringkali eksistensi tradisi baik ini teraktualisasi melalui asatidz, melalui alumni, melalui santri, melalui kegiatan, dan lainya, yang teraktualisasi melalui kontribusi, peran aktif, tindakan, karakter di masyarakat.
Tradisi yang kemudian diserap oleh seluruh elemen pondok menjadi sebuah pembelajaran dan pendidikan praktis. Yang tak sengaja menjadi pribadi dan karakter yang melekat dalam diri. Pembiasaan yang bertahun-tahun dilakukan namun sejatinya adalah pendidikan. Pendidikan berbasis karakter. Pendidikan berbasis tindakan. Pendidikan berbasis tradisi.
Beberapa Yang Terlihat
Berikut ini beberapa budaya yang terimplementasikan sejak lama namun tidak disadari;
- Berasaskan ahlusunnah wal jama’ah. Nderek Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Tabarukan semoga kelak diakui sebagai santri beliau.
- Merupakan lembaga ke-NU-an. Sebagaimana awal pendiriannya dibingkai oleh MWC NU Mlarak.
- Tetap mengutamakan adab dan pembentukan karakter dalam pembelajaran. Adab menjadi pilihan pokok dalam pembelajaran. Hampir semua materi seperti hadits, mahfudzot, dll mengarah ke adab.
- Adanya tradisi keta’dziman secara umum kepada masyayikh dan asatidz. Tentu ini sangat penting, mengingat beberapa sekolah sudah mulai kehilangan hal seperti ini. Menganggap guru sebagai teman yang berujung pada kurangnya menjaga sikap, meski maksud awalnya adalah untuk peningkatan efektivitas pembelajaran.
- Motto “sanggup dipimpin dan siap memimpin” yang senantiasa didengungkan dan diperdengarkan.
- Kurikulum kitab klasik seperti ta’limul muta’allim, kifayatul ‘awam, fathul qorib, jawahirul kalamiyyah, tafsir Al jalalain, dll. Kurikulum salafi yang dimaksudkan untuk tak sekedar memberikan keseimbangan pengetahuan namun menanamkan keterhubungan kepada para alim shalih pengarang kitab untuk bertabarrukan dan perbaikan akhlaq, dll.
- Pemberian sanksi yang besar atas tindakan yang cenderung meremehkan dan tindakan yang tidak bisa ditolerir kepada asatidz atau tenaga kependidikan pondok.
- Tradisi tahlil. Ini penting untuk senantiasa menumbuhkan rasa kesadaran akan peran para pendahulu dan bagaimana bersyukur kepada beliau-beliau. Menghindari sikap meremehkan dalam sikap.
- Kepanitiaan kegiatan besar di Pondok sebagian besar pelaksananya Organisasi Santri. Kegiatan besar seperti pekan perkenalan, khataman wada’, MTQ, dll, semuanya dikerjakan santri melalui kepanitiaan di ASLAM.
- Pengenalan tawassul kepada para Aulia. Aktualisasinya terkadang dengan pemberian ijazah secara personal di kelas atau mengajak santri bertawassul sebelum dilaksanakannya sebuah kegiatan.
- Tradisi duduk santri di kelas, putra di depan dan putri di belakang. Salah satu tujuannya adalah aktualisasi dari ayat yang menjelaskan bahwa laki-laki atas pemimpin. Tidak dimaksudkan untuk menolak perempuan menjadi pemimpin. Namun ini untuk menunjukkan fitrah yang seharusnya. Agar terbiasa dalam sikap dan keseharian.
- Dll
Tentunya banyak tradisi-tradisi yang tidak bisa disebutkan di sini. Namun sebenarnya, tradisi-tradisi ini tinggal di sadari sebagai sebuah tradisi baik yang kemudian dilanjutkan dengan langkah-langkah penjagaan dan pengembangannya.
Leave a Reply