Di sebuah desa bernama Tirta Asri, terdapat tradisi unik yang selalu dinanti setiap tahun: perlombaan deres (memanen air dari pohon aren). Tradisi ini tak hanya soal memanen air nira, tapi juga tentang kebanggaan desa dan warisan kearifan lokal.
Tahun ini, perlombaan deres diadakan di Lumbung Banyu, sebuah tempat penyimpanan air terbesar di desa. Lumbung itu adalah simbol kehidupan dan keberkahan desa, dijaga ketat oleh para sesepuh.
Semar dan ketiga Punokawan ikut serta sebagai peserta. Mereka bukan ahli deres, tapi Semar berkata, “Kadang, yang penting bukan menang, tapi siapa yang benar-benar bekerja dengan hati.”
Gareng, Petruk, dan Bagong hanya mengangguk. Seperti biasa, mereka tak sepenuhnya paham maksud Semar, tapi mereka tahu akan ada pelajaran di balik kata-katanya.
Saat perlombaan dimulai, peserta diberi aturan sederhana:
- Tiap peserta harus membawa air nira sebanyak mungkin ke Lumbung Banyu.
-
Dilarang mencampur nira dengan air sungai atau sumber lain.
-
Waktu yang diberikan adalah satu hari penuh.
Peserta bergegas menuju hutan aren. Gareng, Petruk, dan Bagong mencoba bekerja keras, tapi mereka merasa kesulitan. Bagong, yang dikenal malas, bahkan sempat tidur di bawah pohon sambil mengeluh, “Kenapa pohon ini tidak mengeluarkan air sendiri? Aku kan cuma butuh sedikit saja!”
Sementara itu, peserta lain tampak bekerja dengan cara yang mencurigakan. Beberapa dari mereka mencampur nira dengan air sungai di balik semak-semak, lalu membawa penuh tong mereka ke Lumbung Banyu.
Gareng, dengan mata julingnya yang tajam, melihat kejadian itu. “Kakang Semar, mereka melanggar aturan! Haruskah kita melapor?”
Semar hanya tersenyum kecil. “Lapor untuk apa, Nak? Kalau hatimu bersih, biarkan lumbung itu yang bicara.”
Petruk, yang biasanya santai, mulai gusar. “Tapi kalau begini, kita pasti kalah! Mereka membawa lebih banyak air, sedangkan kita hanya punya setengah tong!”
Semar menepuk bahu Petruk. “Kadang, menang bukan soal siapa yang lebih banyak membawa, tapi siapa yang membawa dengan benar.”
Ketika waktu perlombaan habis, semua peserta berkumpul di Lumbung Banyu. Para sesepuh memeriksa nira yang terkumpul. Awalnya, semua tampak sama: tong-tong penuh berisi air yang manis.
Namun, saat para sesepuh menuangkan nira ke dalam lumbung, keanehan mulai terlihat. Nira dari beberapa peserta terasa hambar, bahkan cenderung kecut.
Sesepuh tertua, Ki Randu, berkata, “Air ini bukan dari pohon aren. Siapa yang berani mencampur nira dengan air lain?”
Beberapa peserta mulai gelisah. Salah satu dari mereka mencoba membela diri, “Tapi Ki, bukankah yang penting jumlahnya? Kami tetap membawa air ke lumbung, bukan?”
Ki Randu menggeleng. “Lumbung ini bukan soal banyak atau sedikit. Lumbung ini hanya menerima yang murni, yang benar.”
Ketika giliran tong Semar dan Punokawan diperiksa, nira mereka tidak sebanyak peserta lain, tapi rasanya manis dan segar. Ki Randu tersenyum puas. “Inilah yang kami cari. Mungkin tidak banyak, tapi ini yang akan menjaga kehidupan desa kita.”
Saat perlombaan usai, Gareng bertanya, “Kakang, kenapa mereka yang curang selalu terlihat lebih cepat berhasil? Apa gunanya kita jujur kalau hasilnya sedikit?”
Semar duduk di bawah pohon aren, menatap langit sore yang mulai memerah. “Nak, belajar itu seperti deres. Ada yang ingin cepat selesai, tapi mencampur apa saja untuk membuat tongnya penuh. Tapi air itu tidak akan bertahan lama. Sedangkan mereka yang sabar, yang tekun, mungkin tongnya kecil, tapi airnya murni dan berharga.”
Bagong, sambil menggaruk kepala, menimpali, “Tapi Kakang, bukankah kita butuh banyak air untuk hidup?”
Semar tersenyum lebar. “Betul, Nak. Tapi apa gunanya banyak air kalau tidak bisa diminum? Jangan hanya mencari jumlah. Carilah yang berkah.”
Petruk menambahkan, “Jadi, Kakang, kalau belajar, kita tidak boleh mencari jalan pintas, ya?”
Semar mengangguk. “Belajar itu untuk hatimu sendiri, bukan untuk membuat orang lain terkesan. Sama seperti Lumbung Banyu, hatimu akan tahu mana yang murni dan mana yang palsu.”
Karya : Iwan Suryanto, S.Th.I.
Leave a Reply