KH. Imam Mahmudi, salah satu sesepuh Pondok Pesantren Al Islam Joresan sekitar tahun 2006, pernah menyampaikan di tengah-tengah ngaji Al-Hikam, “kitab kuwi ana loro; kitab garing karo kitab teles” (kitab itu ada dua jenis; kitab kering yang berupa buku, kitab, dan lainnya, sementara kitab satunya kitab basah adalah belajar membaca kehidupan).
Kitab garing mungkin terbilang mudah didapatkan, karena banyak yang menyediakan. Entah di toko, perpustakaan, atau file berupa pdf dll. Kendatipun dengan banyaknya sumber daya yang bisa diakses, tetap saja untuk bisa menyerap apa yang dikandungnya harus dengan ijtihad yang besar. Butuh kesungguhan untuk bisa mengonversikan teks menjadi pemahaman. Dari pemahaman menjadi sebuah kesimpulan praktis yang mudah dijalankan.
Kitab teles mungkin berbeda kondisi dengan kitab garing, ketersediaannya melimpah dan hampir di mana-mana ada, tinggal mengambilnya namun karena sifatnya yang masih “mentah” tidak semua orang bisa melakukannya. Butuh sekumpulan ekstraksi pemikiran, pengalaman, penalaran, dan perenungan untuk menstimulasi munculnya pemahaman atas kitab teles yang sedang dikaji.
Sekitar 1400 tahun yang lalu, ayat Al Qur’an yang pertama turun. Perintahnya adalah iqro (bacalah). Sebuah perintah luar biasa yang turun di mana penalaran ilmiah tidak seperti sekarang. Kesan ilmiah yang sangat kuat muncul dari ayat ini. Bagaimana sebuah wahyu yang turun pertama kali menyeru “bacalah”.
Prof. Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa makna dari iqro adalah tak sebatas membaca. Namun semua upaya seperti merenungkan, menganalisa, berpikir, menelaah, dan lainnya adalah bentuk dari iqro’.
Lebih lanjut Prof. Quraish Shihab mengutip pernyataan Syaikh Abdul Halim Mahmud (mantan Pemimpin Tertinggi al-Azhar Mesir), bahwa membaca merupakan lambang dari segala sesuatu yang dilakukan manusia, baik yang bersifat aktif maupun pasif. Kalimat iqra bismi Rabbik bermakna “Bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu. Jadikanlah seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuannya, semuanya demi Allah SWT.”
Pondok pesantren Al Islam dalam panca tujuannya yang pertama adalah beribadah thalabul Ilmi. Ikhtiar untuk membingkai proses belajar ilmu pengetahuan dengan niatan ibadah. Semangat yang menjadi tujuan hadirnya seluruh elemen ke Pondok Pesantren Al Islam.
Dengan adanya panca tujuan ini, maka setiap elemen akan merasa “kurang dan haus” ilmu pengetahuan. Tidak merasa cukup dan merasa sudah alim atas apa yang sudah dipelajari. Semangat ayat yang pertama turun yang teraktualisasi dalam panca tujuan yang pertama adalah indikator yang baik bagi setiap orang. Untuk tetap merasa andhap ashor dan berusaha kuat memperbaiki diri. Sadar betul, bahwa di atas orang yang alim ada yang lebih alim lagi.
Kitab garing dan kitab teles pada dasarnya adalah sebuah simbol. Simbol yang mungkin bagi setiap orang untuk menerjemahkannya dalam tindakan. Agar setiap orang menjadi pembelajar. Pembelajar yang mungkin masih lekat dengan kesalahan dan kekurangan. Pembelajar yang tidak mau menghakimi orang lain dengan hukum yang baru diketahuinya. Pembelajar yang senantiasa toleransi kepada sesamanya karena kesadarannya telah bahwa setiap orang sedang memperbaiki diri.
Panca tujuan yang pertama telah mengilhami banyak orang dan perjalanan pendidikan dan pembelajaran untuk lebih semangat dalam belajar namun tetap dalam bingkai keikhlasan, ta’abbud kepada Allah. Sebagai wujud rasa syukur kepada Allah. Bahkan semangat keikhlasan ini secara tersurat ada pada pada jiwa pondok pesantren Al Islam.
Leave a Reply